Wednesday, January 18, 2012

TAPAK TAPAK LELAKI TUA


TAPAK TAPAK LELAKI TUA
Oleh: Tojiwa Ram
Mentari bersinar terang pagi ini, Suara kicauan burung mengiringi aktivitasku. Asap dari kompor kayuku menyelinap ke sela-sela ventilasi kamar, yang beralas kapuk tua dan beratap jerami yang sudah nampak lapuk, Inilah rumahku. Rumah yang berpenghuni 3 orang ini tidak cukup untuk menampung kami semua. Namun, apa boleh buat penghasilanku sebagai tukang becak tak cukup untuk memperbaiki rumah tua ini.
Di rumah tua inilah kami melakukan aktivitas mulai dari matahari terbit sampai matahari tenggelam. Aku telah lama menggeluti pekerjaan ini. Sudah kurang lebih 30 tahun lamanya. Aku tak kenal lelah menggayuh becak tuaku. Dengan becak yang tua ini aku hanya bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan setiap hari, tapi itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluargaku yang hanya berpenghasilan Rp. 20.000 per hari. Meskipun begitu aku merasa bahagia karena mempunyai seorang istri yang bernama Manena DG. Puji yang berumur 66 tahun, yang selalu memberikan aku spirit dan semangat hidup. Kami menikah pada usia 24 tahun dan kami dikaruniai 2 orang anak. Dia sosok perempuan yang sabar dan tabah menemaniku baik dalam suka maupun duka.
Namun, ditengah kebahagiaan yang kami rasakan, kami diterpa cobaan. Anak kami yang masih berumur 2 tahun kembali pada Sang Khalik . Kini anakku yang masih hidup bernama Nisa. Ia sangat rajin dan taat kepada orang tua. Ia ingin sekali bersekolah. Namun, harapannya tidak mampu aku penuhi lantaran penghasilanku hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Tambahan pula, biaya pendidikan terasa sangat mahal.
Meskipun becak ini telah lama menemaniku dalam mencari rezeki. Namun, terkadang benda tua ini membuatku jengkel, lantaran rantainya seringkali putus dan bannya juga acapkali bocor. Tapi aku tak berniat untuk membuang barang rongsokan ini, karena becak tua ini adalah satu-satunya harapan kami untuk dapat hidup di zaman modern ini. Selain sebagai tukang becak aku juga memiliki pekerjaan sampingan, yaitu sebagai pembersih selokan. Bau selokan yang menyengat itu membuatku merasa mual, tapi apa boleh buat harus tetap kujalani. Hidup di zaman modern ini seakan-akan membuat leherku tercekik dan siap menghentikan degap-degup nafasku.
Aku pernah berniat untuk mengganti becak tua ini dengan becak motor, namun tersandung lagi dengan persoalan harga. Ini membuat aku meredupkan niatku untuk membelinya. “Sedangkan untuk makan aja susah, Apa lagi mau membeli becak motor itu’’, ucapku dalam hati. Semangatku untuk bisa menafkahi keluarga dengan menggayung becak, walaupun usiaku sudah setua ini tak pernah luntur.
Meskipun teman se-profesiku telah menggunakan becak motor, aku masih tetap bertahan menggunakan becak tahun 70-an ini. Keinginanku untuk menggunakan becak motor agar memudahkanku dalam mencari uang terpaksa kuredam sendiri, walaupun kondisi fisikku yang semakin lemah. Dalam usia selanjut ini rasanya aku sudah tidak sanggup membawa beban penumpang. 67 tahun sudah umurku. Seyogyanya aku menikmati masa tuaku seperti kebanyakan orang tua lainnya. Banyak orang seusiaku yang sudah memiliki fasilitas rumah mewah lengkap dengan mobil mewahnya.
Pada masa kecilku aku mempunyai sahabat yang bernama Ahmad. Dia seorang anak petani. Ahmad anak yang cerdas dan disukai banyak guru. Kenangan pada kisah masa lalu ini membuatku sangat menyesal. Semasa kanak-kanak itu Ahmad pernah mengajakku belajar kelompok di rumahnya setiap hari.
“ Dalle, kamu mau belajar kelompok di rumahku”, ajaknya padaku saat kami bercengkerama di bawah pohon mangga tetangga.
“ Aku lagi malas belajar. Badanku juga terasa lelah, jadi aku mau tidur”, balasku mencari-cari alasan, yang mungkin membuatnya kecewa, tapi aku tidak perduli.
“ Ayolah, di sana kita bisa belajar bersama!”, tandasnya dengan nada yang bersemangat.
“ Kamu saja yang belajar, aku mau tidur”, balasku dengan muka sinis.
Setiap kali Ahmad datang kerumahku untuk mengajakku belajar bersama di rumahnya, setiap kali pula aku memberikan alasan bahwa aku tidak bisa kerumahnya. Nampaknya Ahmad tidak mau melihat saya menjadi orang bodoh. Keikhlasannya yang tulus membuatku merasa haru. Namun entah mahluk apa yang ada dalam tubuhku ini yang membuat aku malas untuk belajar. Akibatnya di sekolah aku sering tidur di kelas, dan tidak bersemangat untuk belajar.
Nasehat-nasehat teman dan guruku seolah-olah bagaikan angin yang masuk di telinga kiri dan keluar di telinga kanan. Orang tuaku pun telah lama mengetahui kalau di sekolah aku hanya bermain dan tidur. Mungkin orang tuaku telah bosan menasehatiku untuk belajar giat.
Pada suatu waktu ada kejadian yang sangat membuatku menyesal sampai saat ini. Aku terpaksa harus berkelahi dengan seorang teman sekolah yang merupakan kakak kelasku. Ryan namanya. Dia hampir menjatuhkan matabat keluargaku. Aku tak pernah bisa melupakan peristiwa yang amat membekas dalam hidupku itu. Pada saat itu aku masih duduk di kelas 2 SMP. Ketika itu adikku, Aisyah, dalam perjalanan pulang ke rumah, Secara kebetulan aku melihat adikku diganggu oleh Ryan. Pada saat itu aku berada pada jarak kurang lebih 50 meter. Seketika itu juga aku berteriak. Ryan tersentak. Kaget. Dia berlari secepat-cepatnya. Aku pun segera berlari mengejarnya. Aku memukul Ryan dari belakang. Dia terdesak dan mencoba membalas. Terjadilah perkelahian yang amat seru. Untungnya aku pernah belajar pencak silat, bela diri yaitu disebut manca. Aku belajar belajar seni bela diri tradisional ini di kampungku bersama anak-anak sebayaku. Kudengar, seni pencak silat ini kian banyak digemari orang, bahkan hingga ke manca Negara.
Keesokan harinya aku dipanggil kepala sekolahku. Aku pun mulai gemetaran karena kulihat wajahnya memerah. Keringat dinginku mulai bercucuran. Baju seragamku basah dengan air keringat.
“ Dalle, ke sini kamu?”, ucap kepala sekolahku.
“ Iya pak”, Balasku dengan keringat yang bercucuran.
“ Kenapa kamu berkelahi kemarin. Kau tahu akibatnya? Teman kamu masuk rumah sakit”. Tegasnya menekan. Aku pun terdiam sambil menundukkan kepala.
“ Kenapa diam!? Kalau begitu, besok pagi panggil orang tuamu menghadap saya ”, tandasnya.
“ Iya pak”, balasku lalu terdiam membisu.
Aku segera meninggalkan ruang kepala sekolah dan masuk ke kelas. Tak lama kemudian bel pulang berbunyi. Aku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku langsung memberitahukan ayahku.
“ Ayah, kepala sekolahku menyuruh ayah ke sekolah besok?”, kataku dengan wajah yang lemas.
“ Ada apa lagi kamu di sekolah!?”, tanyanya dengan perhatian.
“ A…aku …”.
“ Aku apa !?”.
“ Aku….”.
“ Aku apa! Katakan segera!”.
“ Temanku ...”.
“ Ya, temanmu kenapa!?”.
“ Temanku… temanku ku … kupukul”.
Ayahku tersentak, namun tetap terdiam. Sorot matanya tajam memandangku.
“ Kok bisa!?”, tanyanya dengan muka tegang.
“ Kemarin adikku…”.
“ Ada apa dengan Aisyah?”.
“ Dia… dia diganggu orang”.
“ Ha!”.
“ Ya, ayah. Seorang laki-laki mencoba…”.
“ Mencoba apa!?”, susul ayahku tak sabar.
“ Memperkosa Aisyah”.
Ayah terdiam. Mukanya tampak merah. Geram. Dia berdiri. Terdengar desah nafasnya memburu. Dia memandang ke luar jendela. Lalu tiba-tiba saja dia berteriak :
“ Tidaaaaaak….. “.
Keesokannya ayahku pun datang ke sekolah. Ternyata di sekolah orang tua temanku datang lebih awal. Tak dinyana ayahku dan ayah temanku bertemu dalam ruang yang sama. Ruang yang berukuran 5x7 meter itu sekarang menjadi panas. Kedua lelaki separuh baya itu terbawa emosi. Lontaran-lontaran kata dari keduanya saling menyerang. Satu hal yang tidak pernah aku bisa mengerti ialah sikap kepala sekolahku. Dia ternyata berpihak pada ayah temanku. Aku merasa nasibku terancam; dan memang benar : aku dikeluarkan dari sekolah!.
Peristiwa itu membuatku menyesal hingga saat ini. Sejak itu irama hidupku berubah. Sebelumnya aku selalu bangun pagi lalu pergi sekolah. Namun sekarang, pagiku aku lalui dengan membantu ayah membersihkan rumah dan mencangkul di sawah. Sebagian teman sebayaku tetap melanjutkan sekolahnya di kampung. Selebihnya pindah ke kota mengikuti keluarganya. Sedangkan aku? Tetap tinggal di kampung membantu ayahku di sawah.
Kini dalam usia yang sudah mencapai 67 tahun, aku masih bersama becak tua ini. Panas terik matahari tak menyurutkan niatku untuk mencari nafkah demi keluargaku. Asap knalpot yang masuk ke paru-paruku dan suara klakson mobil yang menggetarkan jantungku sudah menjadi makanan sehari-hariku. Terkadang perutku terasa kosong dan rasa haus menderaku, namun semua itu tak menjadi halangan bagiku untuk bisa mencukupi kebutuhan keluargaku.
Apalagi di musim hujan seperti ini. Seringkali aku menggigil kedinginan lantaran hujan amat deras. Apalagi jaket hujan yang kupakai sudah begitu usang sehingga air hujan dengan mudah masuk ke dalam tubuhku. Dahulu aku pernah menggunakan paying, tapi ketika angin kencang datang payungku ikut terangkat ke atas. Hari ini aku pulang pada malam hari. Padahal aku belum mendapatkan uang sepeserpun. Badanku basah kuyup. Desau angin malam membuat tubuhku menggigil kedinginan.
“ Assalamu alaikum!?”, ucapku setiba di rumah.
“Walaikum salam!”, balas istriku dari dalam.
Ternyata istriku telah lama menunggu kedatanganku. Ia cemas, lantaran aku terlambat pulang.
“ Kenapa telat pulang ?”, katanya dengan nada sendu.
“ Dari tadi pagi aku belum dapat uang!”, balasku dengan sedih.
Di luar dugaanku istriku serta merta meninggalkan diriku sendiri dan langsung ke kamar. Ada sebersit rasa bersalah dalam diriku, lantaran hari ini tak sepeserpun uang yang bisa kubawa pulang. Malam itu aku sulit tidur. Jelang subuh aku terpulas beberapa saat. Suara kicauan burung dan suara ayam yang berkokok membuat diriku terbangun dari tidurku. Badan ini terasa panas namun aku kedinginan; kepala ini terasa pusing, dan mata ini terasa tertekan masuk ke dalam. “Arghh…..arghh…argh…”, keluhku dalam gigil. Istriku terbangun mendengar keluhanku.
“ Ada apa denganmu?”.
“ Arghhh…arghhhh..arghh”.
Ia segera mengambil kompres untuk menurunkan panasku. Badanku gemetaran. Mulutku menggumam. Udara dingin yang masuk ke kulitku yang tipis terasa menusuk-nusuk.
“ Ini pak kompresnya”, serunya sambil menyimpan kompresnya di kepalaku.
Badan ini semakin gemetaran, angin yang masuk lewat sela-sela dinding daun tala menambah rasa dingin di tubuh ini.
“ Bu, bagaimana caranya kita makan hari ini?”, tanyaku secara tiba-tiba.
“ Ibu akan pinjam uang sama tetangga pak?”, balasnya.
“ Tapi, adakah yang mau meminjamkan uangnya ke kita bu?”, susulku ragu.
“ Ibu juga masih ragu pak”.
“ Terus bagaimana ?”, kataku yang semakin ragu.
“ Ibu akan usaha dulu pak!”.
Istriku pun pergi meminjam uang ke tetangga. Alhamdulillah, ia mendapatkan pinjaman dari tetangga yang tinggal di sekitar mesjid. Setelah 3 hari berada di kamar tanpa keluar rumah, aku pun sembuh dan dapat menggayung becak kembali. Kuawali langkahku ini dengan membaca “Bismillah”, dan kuawali pagi ini dengan senyum hangat seperti matahari yang setiap paginya memberikan kehangatan kepada kita semua. Syukurlah penumpang pertama telah ada. Kugayung becak ini dengan semangat. Namun, sayangnya di tengah perjalanan jari kakiku masuk ke dalam rantai becak. Becakku pun terbalik dan masuk ke selokan, penumpangku lompat dan jatuh di aspal. Kini hanya aku tertidur di jalan, “ahhhhhhhhhhhh….. sakittt……”. Penglihatanku tiba-tiba terasa hilang dan pendengaranku juga tak berfungsi.
Aku terbangun dan berada di suatu ruangan.
“ Dimana aku ini?” tanyaku dalam batin sendiri. Tak lama kemudian seorang laki-laki membuka pintu dan mendekatiku.
“ Bagaimana keadaan bapak?”, ucap yang berusia sekitar 20 tahun.
“ Aku ada di mana!?”, Tanyaku.
“ Tenang pak, bapak ada di rumah saya”.
“ Kenapa kakiku ini diperban?”.
Pemuda itu pun menceritakan semuanya tentang kejadian tadi pagi, yang membuat sebuah jari kakiku putus. Pemuda itu mengantarkan aku pulang ke rumahku. Istriku kaget melihat aku diantar oleh seorang pemuda yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Apalagi setelah mengetahui bahwa kaki kiriku diperban. Pemuda itu sebenarnya tinggal tak jauh dari rumahku. Rumahnya terletak di lorong sebelah, tapi memang tak pernah bertemu dengan isteriku. Sejak itu hubunganku dengan sang pemuda, yang belakangan kukenal dengan nama Saleh, semakin akrab.
Suatu ketika Saleh memergoki diriku sedang asyik tidur-tiduran di becak. Dia mengajakku untuk shalat berjamaah di mesjid.
“ Daeng, ayo ke mesjid”, ajaknya halus dan ramah.
“ Iya nak, aku shalat di rumah saja” jawabku sambil tersenyum.
“ Ayolah daeng. Shalat berjamaah di mesjid besar kata pahalanya. 27 kali lipat dibanding shalat sendiri di rumah, “ jelasnya sambil memegang becakku.
Hatiku luluh. Aku pun ikut shalat berjamaah di mesjid. Suara gemercik air membasahi lantai. Kuawali dengan mencuci tangan, berkumur-kumur, membasuh muka, lengan, telinga, dan kaki. Aku berjalan memasuki mesjid dan bergabung dengan jamaah lain. Inilah saat pertama kali aku shalat berjamaah di mesjid; pertama kali selama hidupku! Entah mengapa seusai sholat berjamaan seakan ada tenaga gaib mengalir dalam sekujur batang tubuhku. Seiring dengan itu jiwaku terasa begitu tenang, tentram, dan pikiranku juga semakin jernih, “SUBHANALLAH”. Ini merupakan anugerah terbesar yang pernah aku rasakan selamahidupku. Hari- hari berikutnya aku senantiasa menyempatkan waktuku untuk shalat berjamaah di mesjid. Jiwaku semakin damai. Beban yang selama ini terasa begitu berat di punggungku kini hilang entah ke mana. Aku rasanya memperoleh suatu daya maha hebat untuk menjalani hidup ini dengan penuh ketegaran.
Dalam ketenangan dan kedamaian aku semakin yakin bahwa kemiskinan tidak menjadi penghalang bagi kita untuk tetap mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Manusia memang harus bekerja keras, namun Allah SWT-lah yang menentukan hasilnya. Kemiskinan boleh jadi hanyalah untuk menguji sejauh mana kesabaran kita. Namun demikian kita tetap harus yakin, bahwa setelah kesulitan pastilah akan datang kemudahan.***

1 comments:

adi said...

TETAP semangat,.. tulisan yang ini pada awal cerita sudah menarik, sayangnya kurang bisa diakhiri dengan baik. saran saya tulisan begini diubah saja endingnya.... atau lebih di dramatisir

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

recently vistors